BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut Notoatmodjo (2012) yang
mengutip pendapat Skiner (1938), Perilaku merupakan respon atau reaksi
seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku
manusia terjadi melalui proses yang diawali oleh stimulus yang kemudian menjadi
organisme hingga akhirnya menimbulkan respon, sehingga teori Skiner disebut
teori “S-O-R” (Stimulus-Organisme-Respon). Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut,
maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu Perilaku Tertutup
(Covert Behaviour) dan Perilaku Terbuka
Perilaku
Tertutup (Covert Behaviour) terjadi bila respon terhadap stimulus
tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon
seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable
behaviour” atau “covert behaviour” yang dapat diukur adalah
pengetahuan dan sikap. Sedangkan
Perilaku Terbuka (Observable Behaviour) terjadi bila respon
terhadap stimulus sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang
lain dari luar atau “observable behaviour”.
Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai
ruang lingkup yang sangat luas. Bloom dalam Notoatmodjo (2007) membagi perilaku
ke dalam tiga domain yang terdiri dari kognitif, afektif, dan psikomotor. Untuk
memudahkan pengukuran maka ketiga domain tersebut biasanya dilihat dari
pengetahuan, sikap dan tindakan atau prakteknya.
B.
Tujuan
1. Mengetahui
Teori Lawrence Green
2. Mengetahui
Teori Snehandu B. Kar
3. Mengetahui
Teori WHO
4. Analisis
Studi Kasus berdasarkan teori perilaku
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Lawrence Green
Perilaku manusia (human behavior) merupakan
reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Pada manusia
khususnya dan pada berbagai spesies hewan umumnya memang terdapat bentuk-bentuk
perilaku instinktif (species-specific behavior) yang didasari oleh kodrat untuk
mempertahankan kehidupan. Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala
macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud
dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan.
Menurut teori Green et al. (1999), kesehatan
individu dan masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor perilaku dan
faktor-faktor diluar perilaku (non¬perilaku). Dalam teori Green, terdapat
istilah PRECEDE dan PROCEED. PRECEDE dilakukan terlebih dahulu sebelum PROCEED.
PRECEDE merupakan singkatan dari Predisposing,
Reinforcing, Enabling, Constructs in, Educational Environmental, Diagnosis, and
Evaluation.PROCEED merupakan singkatan dari Policy, Regulatory, Organizational, Constructs in, Educational and
Environmental, Development. Precede bagian
dari fase (1-4) berfokus pada perencanaan program, dan bagian Proceed fase
(5-8) berfokus pada implementasi dan evaluasi.
Delapan fase Preceed –
Procede (Fertman, 2010) adalah:
1. Fase
1 : Penilaian Sosial (Social Diagnosis)
Dalam fase ini, program
menyoroti kualitas dari hasil keluaran secara spesifik, indikator utama sosial
dari kesehatan dalam populasi spesifik (contohnya derajat kemiskinan, rata-rata
kriminalitas, ketidakhadiran, atau tingkat pendidikan yang rendah) yang berefek
kepada kesehatan dan kualitas hidup. Dapat ditemukan masalah yang dihadapi (real need) dan dirasakan masyarakat (felt need).
2. Fase
2 : Penilaian Epidemiologi (Epidemiological
Diagnosis)
Dalam fase kedua,
setelah spesifik masalah sosial yang berkaitan dengan buruknya kualitas
kehidupan/masalah sosial dalam fase pertama, program mengidentifikasi mana
masalah kesehatan atau faktor lain yang berperan (penyebab) dalam perburukan
kualitas hidup. Masalah kesehatan akan dianalisis berdasarkan pentingnya dalam
artian bagaimana hubungannya dengan masalah kesehatan untuk mengidentifikasi
indikator sosial dalam penilaian sosial dan bagaimana menerima untuk merubah
masalah kesehatan yang ada. Setelah prioritas utama masalah kesehatan stabil,
identifikasi dari determinan yang mengarah pada munculnya masalah kesehatan.
3. Fase
3 : Penilaian Perilaku dan Lingkungan (Behavioral
and Environment Diagnosis)
Langkah selanjutnya
dalam penilaian ini adalah akan mengidentifikasi penyebab utama dari masalah
kesehatan tersebut, seperti faktor lingkungan (contohnya racun, kondisi kerja
yang penuh tekanan, atau kondisi pekerjaan yang tidak terkontrol), faktor
perilaku (contohnya sedikitnya aktivitas fisik, diet yang buruk, merokok, atau
konsumsi alkohol), dan faktor genetik (contohnya riwayat keluarga). Pentingnya
masalah dan kemungkinan untuk dirubah
akan dianalisis, dan kemudian satu atau beberapa dari masalah ini akan
dipilih menjadi focus yang di prioritaskan.
4. Fase
4 : Penilaian Pendidikan dan Organisasi (Educational
and Organization Diagnosis)
Fokus dalam fase 4
berganti menjadi penelusuran masakah yang berpengaruh atau menjadi penyebab
masalah perilaku yang diprioritaskan
Faktor-faktor ini
dikelompokan kedalam tiga kategori
a. Faktor
Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor-faktor yang mempermudah atau
mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang. Antara lain pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. Dalam dunia kesehatan,
faktor predisposisi terwujud dalam pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, tingkat pendidikan,
tingkat sosial ekonomi dan lain sebagainya.
b. Faktor
Pemungkin (Enabling Factors)
Faktor-faktor
yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud
dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk
terjadinya perilaku kesehatan, misalnya: Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit,
tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat olah raga, makanan
bergizi, uang dan sebagainya.
c. Faktor
Penguat (Reinforcing Factors)
Faktor
yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun
orang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Faktor
penguat ini dapat terwujud dalam sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma),
tokoh agama (toga), sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain,
yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Termasuk juga undang-undang,
peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait
dengan kesehatan.
Faktor-faktor ini dianalisis
berdasarkan pentingnya, perubahan, dan kemungkinan.Faktor-faktor kemudian
dipilih untuk disajikan sebagai dasar untuk pengembangan program, dan
keobjektifitasan pendidikan yang telah disusun.
5. Fase
5 : Administrasi & Penilaian Kebijakan (Administrative
and Policy Diagnosis)
Fokus utama dalam
administrasi dan penilaian kebijakan dan keselarasan intervensi, dalam fase ke
lima adalah memastikan keadaan, unuk meyakinkan bahwa ini ada dalam peraturan
(sekolah, tempat kerja, organisasi pelayanan kesehatan, atau komunitas) semua
dukungan yang memungkinkan, pendanaan, fasilitas, kebijakan dan sumber daya
lainnya akan ditampilkan untuk mengembangkan dan pelaksanaan program.
6. Fase
6 : Implementasi dan Pelaksanaan (Implementation)
Menetapkan metode yang
akan digunakan untuk mensosialisaikan pada masyarakat tentang masalah yang
telah diprioritaskan dan penyelesaiannya.
7. Fase
7 : Evaluasi (Process Evaluation)
Proses evaluasi adalah
sebuah evalusi yang formatif, sesuatu yang muncul selama pelaksanaan program.
Tujuannya adalah untuk mengumpulkan baik data kuantitatif dan kualitatif untuk
mengakses kemungkinan dalam program sebagaimana untuk meyakinkan bahwa
pelaksanaan program yang berkualitas
8. Fase
8 : Pengaruh Evaluasi(Impact Evaluation)
Fokus dalam fase ini
adalah evaluasi sumatif, yang diukur setelah program selesai, untuk mencari
tahu pengaruh intervensi dalam perilaku atau lingkungan. Waktunya akan
bervariasi mulai dari sesegera mungkin setelah selesai dari menyelesaikan
aktivitas intervensi sampai beberapa tahun kemudian.
9. Fase
9 : Keluaran Evaluasi / Hasil(Outcome
Evaluation)
Fokus dari fase
evualusi terakhir sama dengan fokus ketika semua proses berjalan – indikator
evaluasi dalam kualitas hidup dan derajat kesehatan.
B.
Teori
Snehandu B.Kar
Teori
Snehandu mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa
perilaku itu merupakan fungsi dari:
1. Niat
seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan (behavior intention)
2. Dukungan
sosial dari masyarakat sekitarnya (social
support)
3. Ada
atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accesbility of information)
4. Otonomi
pribadi yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau keputusan (personal anatomi)
5. Situasi
yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation).
C.
Teori
WHO
Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku
tertentu adalah karena adanya empat alasan pokok.
1.
Pemahaman dan
pertimbangan (thought and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan,
persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang
terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan).
a.
Pengetahuan
Pengetahuan diperoleh
dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
b.
Kepercayaan
Kepercayaan sering
diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu
berdasarkan keyakinan atau tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.
c.
Sikap
Sikap menggambarkan
suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari
pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang
mendekati atau menjauhi suatu objek.
2.
Adanya acuan atau referensi dari
seseorang atau pribadi yang dipercayai (personal reference).
Di dalam masyarakat dimana sikap paternalistic masih kuat, maka
perubahan perilaku masyarakat tergantung dari perilaku acuan (referensi),
apabila seseorang itu dipercaya, maka apa yang dikatakan atau perbuatan
cenderung untuk dicontoh. Orang-orang yang dianggap penting ini sering disebut
kelompok referensi (reference group) yang pada umumnya adalah para tokoh
masyarakat setempat seperti guru, alim ulama, kepala adat (suku), kepala desa,
dan sebagainya.
3.
Sumber-sumber daya (Resources)
Sumber daya mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya.
Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat.
Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif.
Misalnya pelayanan puskesmas, dapat berpengaruh positif terhadap perilaku
penggunaan puskesmas tetapi juga dapat berpengaruh sebaliknya.
4.
Sosio Budaya (Culture)
Kebiasaan, nilai-nilai, tradisi-tradisi, sumber-sumber di dalam
masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada
umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan terbentuk dalam waktu lama sebagai
akibat dari kehidupan suatu masyrakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik
secara lambat maupun cepat, sesuai peradaban umat manusia.
Dari uraian tersebut, teori dari tim WHO ini dapat dirumuskan secara
mate,atis sebagai berikut:
B =
F(Tf, Pr, R, C)
B = Behaviour
F = Fungsi
Tf = Thought and feeling
Pr = Personal references
R = Resources
C = Culture
BAB III
STUDI KASUS
A.
Kepatuhan
Pengobatan Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Nguntoronadi Wonogiri
Tuberkulosis
paru merupakan penyakit menular yang mengancam kesehatan masyarakat di seluruh
dunia, terutama di negara berkembang. TB paru menjadi penyebab kematian nomor
tiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran
pernafasan atas (ISPA) pada semua golongan umur (Budiman dan Mauliku, 2010).
Indonesia menempati peringkat ketiga jumlah penderita TBC di dunia setelah
India (1.762.000) dan China (1.459.000) (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,
2013).
Angka
penemuan kasus atau CDR (Case Detection Rate) di Jawa Tengah tahun 2010
sebesar 55,38%, 2011 sebesar 59,52%, 2012 sebesar 58,45% dan untuk
tahun 2013 sampai dengan Tri Wulan 3 sebesar 18,93% dengan Karisidenan
Surakarta menempati peringkat 2 terbesar setelah Pekalongan. Kabupaten
Wonogiri menempati peringkat dua dengan angka CDR 23,95% tertinggi
setelah Kota Surakarta 66,27%, sedangkan kabupaten lain yang
masuk dalam wilayah Karisidenan Surakarta hanya mencapai angka CDR
masing-masing untuk Kabupaten Boyolali 0%, Kabupaten Sukoharjo 12,25%,
Kabupaten Karanganyar 1,15%, Kabupaten Sragen14,62% dan Kabupaten Klaten 9,43%
(Erni, dkk., 2009).
Presentase
target dan capaian CDR (Case Detection Rate) TB Paru di Kabupaten
Wonogiri dari tahun 2011 sampai tahun 2015 belum memenuhi target (<90%).
Puskesmas Nguntoronadi I termasuk dalam 10 besar Puskesmas se-Kabupaten
Wonogiri dengan kasus terbanyak 50% dibawah Puskesmas Purwantoro, Kismantoro,
Giriwoyo 2, Ngadirojo, Girimarto, Baturetno 1 dan Wonogiri 2. Hasil survei pada
tanggal 28 Februari 2015 di Puskesmas Nguntoronadi I, dengan hasil angka
kematian akibat TB Paru sebesar 8,3% dan angka ketidakpatuhan >50% (Dewanty,
2016).
Penyakit
tuberkulosis dapat disembuhkan akan tetapi membutuhkan waktu yang cukup lama,
yaitu minimal enam bulan. Oleh sebab itu, kepatuhan berobat penderita TB sangat
dibutuhkan. Menurut Depkes (2013), salah satu komponen DOTS adalah pengobatan
paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin kepatuhan
pengobatan diperlukan seorang pengawas minum obat (PMO). Adapun persyaratan
untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut:
1. Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien.
Tidak
patuh bukan hanya diartikan sebagai tidak minum obat, namun bisa memuntahkan
obat atau mengkonsumsi obat dengan dosis yang salah sehingga menimbulkan Multi
Drug Resistance (MDR). Banyak peneliti yang mendefinisikan patuh sebagai
berhasil tidaknya suatu pengobatan dengan melihat hasil serta proses dari
pengobatan itu sendiri. Berbagai hal yang dapat meningkatkan faktor
ketidakpatuhan bisa karena sebab yang disengaja dan yang tidak disengaja. Ketidakpatuhan
yang disengaja berhubungan dengan keyakinan tentang pengobatan antara manfaat
dan efek samping yang dihasilkan. Ketidakpatuhan yang tidak disengaja terlihat
pada penderita yang gagal mengingat atau dalam beberapa kasus yang membutuhkan
pengaturan fisik untuk meminum obat yang sudah diresepkan (Chambers, 2010).
B.
Teori Perilaku
1. Lawrence
Green
a. Faktor
Predisposisi (Predisposing factor)
Karakteristik individu dapat memberikan
pengaruh terhadap perilaku seseorang, salah satunya adalah usia. Anak remaja
ataupun usia dewasa biasanya cenderung memiliki mobilitas yang tinggi sehingga
sulit untuk dapat minum obat tepat waktu. Sedangkan pada usia tua lamanya
proses pengobatan juga dapat sering menimbulkan kendala. Faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kepatuhan minum obat yaitu faktor sosial dan ekonomi diantaranya
adalah status ekonomi, kemiskinan, pendidikan yang rendah, pengangguran. Secara
sosial mereka juga percaya dan meyakini bahwa dari pengobatan akan memberikan
sejumlah efek samping yang dirasa mengganggu. Kecemasan akan keadaan yang lebih
parah dan kekhawatiran tentang efek jangka panjang dan ketergantungan juga menjadi
pertimbangan. Kurangnya pengetahuan penderita serta rasa rendah diri dan malu tentang
penyakitnya sendiri sehingga mengurangi motivasinya untuk mengatur pengobatan
agar cepat sembuh. Seringkali penderita menjadi lupa minum obat dan salah paham
terhadap instruksi pengobatan yang menyebabkan berkurangnya harapan terhadap
kesembuhan.
Penderita tanpa keluhan atau gejala seringkali
tidak percaya akan hasil diagnosis dokter dan mengganggap bahwa dirinya masih
sehat. Penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah menjalani pengobatan
1-2 bulan atau lebih akan merasa keluhannya berkurang atau hilang sama sekali
sehingga penderita beranggapan bahwa dirinya telah merasa sembuh dan malas
untuk meneruskan pengobatan kembali. Waktu pengobatan yang membutuhkan waktu lama
serta kegagalan pengobatan sebelumnya juga menurunkan motivasi pengobatan.
Waktu pengobatan yang lama dapat menjadi beban bagi
penderita tuberkulosis. Terutama apabila jarak antara rumah dan puskesmas cukup
jauh atau medan yang ditempuh cukup sulit. Mereka perlu meluangkan waktu dan
biaya khusus untuk melakukan pengobatan tersebut. Terutama apabila biaya
transportasi cenderung mahal.
b. Faktor
Pemungkin (Enebling factor)
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus tersedia
secara cukup dan diperlukan sistem distribusi obat yang baik. Hal tersebut
diperlukan agar ketersediaanya dapat berlangsung secara kontinu sehingga
memungkinnya penderita untuk dapat selalu memiliki obat saat berkunjung ke
puskesmas. Selain itu diperlukan prosedur standart serta peralatan yang cukup
memadai untuk pemeriksaan dan mendiagnosa tuberkulosis.
Kurangnya pelatihan tenaga kesehatan di
puskesmas sehingga kurang mampu untuk memberikan informasi yang lebih banyak
pada penderita. Hal tersebut dapat menyebabkan penderita kurang dapat memahami
alur pengobatan dan cara untuk menangani gejala efek samping yang
didapatkan akibat pengobatan. Petugas kesehatan terkadang sangat sibuk sehingga
tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan informasi secara rinci dan perlahan
terurama bagi penderita baru penyakit tuberkulosis.
c. Faktor
Penguat (Reinforcing factor)
Diperlukan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas
Minum Obat (PMO). Seorang PMO harus memiliki pengetahuan yang baik mengenai
tuberkulosis paru. PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan atau perawat
puskesmas. Apabila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, maka PMO dapat
berasal dari kader kesehatan, tokoh masyarakat atau anggota keluarga.
Keluarga merupakan orang terdekat dari
penderita. Keluarga selain dapat berperan sebagai PMO, juga memiliki peran
penting dalam menunjang keberhasilan pengobatan. Keluarga harus rajin
mengingatkan dan memberikan motivasi agar penderita tetap semangat dalam menjalani
pengobatan. Diperlukan pula ketersedian dukungan tenaga kesehatan terhadap
penderita dengan tujuan menjaga hubungan baik antara petugas dan penderita agar
dapat meningkatkan kepatuhan penderita dalam berkunjung ke puskesmas.
Terdapat sistem pembiayaan atau
asuransi OAT dengan syarat tertentu. Sebelum mendapatkan pengobatan, penderita
terlebih dahulu harus membuat surat pernyataan. Penderita diwajibkan untuk
menyelesaikan pengobatannya hingga waktu yang ditentukan oleh dokter. Apabila
kewajiban tersebut tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan maka akan dikenakan
denda untuk biaya obat yang selama ini telah dikonsumsi.
2. Teori
Snehandu B. Kar
a.
Behavior Intention
Seseorang yang menderita suatupenyakit cenderung memiliki
niat untuk dapat segera sembuh dari penyakitnya. Dari niat tersebut maka
penderita akan mulai melakukan tindakan penyembuhan seperti mengunjungi
puskesmas.
b.
Social Support
Proses
pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu hingga 6 bulan. Untuk dapat
menyelesaikannya diperlukan dukungan dari masyarakat sekitar. Diperlukan orang
terdekat seperti keluarga, tetangga atau petugas puskesmas yang dapat
memberikan solusi dari permasalahan yang muncul akibat efek samping dari
pengobatan.
c.
Accesebility
of Information
Puskesmas harus menyediakan informasi mengenai
tuberkulosis yang dapat berupa poster atau selebaran yang selalu tersedia di
puskesmas. Penting untuk melakukan sosialisasi secara rutin atau kampanye tentang
penyakit tuberkulosis. Hal tersebut sangat dibutuhkan demi memenuhi target dan
capaian CDR (Case Detection Rate). Sosialisasi dapat dilakukan melalui
kader ataupun tokoh masyarakat di wilayah tersebut agar informasi dapat lebih
cepat menyebar. Masyarakat harus mengetahui tentang gejala tuberkulosis dan
mengetahui bahwa terdapat pula fasilitas layanan kesehatan untuk menangani
penyakit tuberkulosis.
d.
Personal Autonomy
Penderita harus dapat menentukan keputusan apa yang
harus dilakukannya untuk dapat sembuh dari penyakit tuberkulosis. Terkadang
penderita tuberkulosis tidak merasakan keluhan atau gejala
sehingga mengganggap bahwa dirinya masih sehat. Penderita tanpa gejala
cenderung tidak ingin melakukan pengobatan.
e.
Action Situation
Diperlukannya biaya pengobatan seperti biaya transportasi,
serta jarak untuk menuju ke puskesmas membuat penderita kembali berfikir untuk mempertimbangkan
melakukan pengobatan. Seringkali penderita juga tidak dapat melakukan
pengobatan secara rutin dikarenakan harus tetap melakukan pekerjaannya sehingga
tidak sempat berkunjung ke puskesmas.
3.
Teori WHO (1984)
a.
Pemahaman dan Pertimbangan (Thougts and Feeling)
1)
Pengetahuan
Tingginya
angka kematian dan ketidakpatuhan di wilayah puskesmas menjadi hal yang perlu
diwaspadai. Adanya kerabat atau tetangga sekitar yang meninggal atau kasus MDR
akibat tuberkulosis menjadi cerita yang dapat dijadikan pengalaman.
2)
Kepercayaan
Seringkali
masyarakat meyakini bahwa gejala penyakit tuberkulosis paru adalah batuk
berdahak. Hal tersebut tersebut merupakan informasi yang didapatkan dari
orangtua dan sering didengar dari cerita orang-orang disekelilingnya. Namun
pada beberapa kasus penyakit tuberkulosis tidak selalu menunjukkan gejala
tersebut sehingga mereka tidak yakin bahwa dirinya sedang sakit.
3)
Sikap
Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) biasanya berwarna merah dengan ukuran yang cukup besar
sehingga akan sedikit lebih sulit untuk mengkonsumsi obat tersebut apabila
penderita tidak terbiasa dengan obat-obatan. Selain itu lidah akan terasa pahit
dan urin yang dihasilkan juga akan berwarna merah. Sehingga banyak penderita
yang tidak suka mengkonsumsi obat tersebut.
b.
Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau
pribadi yang dipercayai (Personal Reference)
Dalam hal ini dokter atau PMO memiliki peranan penting. Dokter
merupakan orang yang dipercaya dapat memberikan resep untuk kesembuhan
tuberkulosis. Sehingga diperlukan adanya hubungan baik antara dokter dengan
penderita agar mereka yakin obat yang diberikan benar-benar dapat menyembuhkan
penyakitnya. PMO harus memberikan informasi pendukung serta motivasi bagi
penderita untuk menyelesaikan pengobatannya. Sosialisasi melalui kader ataupun
tokoh masyarakat yang mereka anggap sebagai panutan juga dapat mempengaruhi
penderita tuberkulosis untuk lebih patuh berobat.
c.
Sumber-sumber daya (Resources)
Pelayanan yang ramah oleh puskesmas, kemudahan dalam mendapatkan OAT,
serta banyaknya sumber informasi sangat diperlukan oleh penderita.
Ketidakpatuhan akan pengobatan seringkali terjadi akibat buruknya fasilitas
tersebut. Selain itu diperlukan pula petugas yang kompeten dalam melakukan
pengawasan langsung.
d.
Sosio Budaya (Culture)
Batuk seringkali dianggap sesuatu
yang wajar dialami oleh setiap orang. Bahkan batuk dianggap sebagai penyakit
yang ringan dan tidak mematikan. Mereka percaya bahwa batuk dapat sembuh dengan sendirinya sehigga
tidak diperlukan obat khusus. Sangat jarang masyarakat yang mau memeriksakan
batuknya terkecuali batuk tersebut sudah parah bahkan hingga mengeluarkan
darah.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Teori
perilaku menurut Lawrence Green dikelompokan kedalam tiga kategori, yaitu
faktor predisposisi (Predisposing
Factors) seperti karakteristik individu, sikap, kepercayaan, keyakinan.
Faktor Pemungkin (Enabling Factors)
sebagai faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan,
seperti ketersediaan layanan kesehatan serta adanya sumber daya yang memadai.
Faktor Penguat (Reinforcing Factors) menjadi faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku, seperti dukungan keluarga, tokoh masyarakat
ataupun adanya peraturan yang mengikat.
2. Teori
perilaku Snehandu B. Kar bertitik berat pada niat, dukungan sosial dari
masyarakat sekitarnya (social support), ada
atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accesbility of information), otonomi
pribadi yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau keputusan (personal anatomi), dan situasi yang memungkinkan untuk
bertindak atau tidak bertindak (action
situation).
3. Teori
perilaku WHO didasarkan pada empat alasan pokok yang terdiri dari pemahaman dan
pertimbangan (thought and feeling), adanya acuan atau referensi dari
seseorang atau pribadi yang dipercayai (personal reference), sumber-sumber
daya (Resources), sosio budaya (Culture).
DAFTAR PUSTAKA
Budiman,
N.E., Mauliku, D.A., 2010. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Minum Obat Pasien TB Paru Pada Fase
Intensif Di Rumah Sakit Umum Cibabat Cimahi. Skripsi. Cimahi: Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan A.Yani
Dewanty, L. I.,
Haryanti, T., Kurniawan, T. P., 2016. Kepatuhan
Berobat Penderita TB Paru di Puskesmas Nguntoronadi Kabupaten Wonogiri.
Sukohajo: Universitas Veteran Budi Nusantara.
Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2013. Buku Saku Kesehatan. Semarang:
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
Erni,
E., Purwanta, Heru, S. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan
Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Paru. Berita Kedokteran Masyarakat.
Volume 25. No. 3 (117-124).
Fertman, C. I.,
and Allenswort, D. D., 2010. Health Promotion Programs from Theory to Practice.
San Francisco: Jossey-Bass.
Notoatmodjo, S.
2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
0 komentar:
Posting Komentar