KOLERA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia
merupakan Negara berkembang dengan jumlah penduduk yang sangat banyak sekitar 340 juta jiwa yang diasumsikan bahwa
setiap tahun akan mengalami peningkatan sebesar 1.49% menurut Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2012. Namun, pertambahan penduduk yang
cukup signifikan ini tidak disertai dengan pembangunan manusia serta lingkungan
yang baik, sehingga banyak permasahan yang timbul diantaranya ialah kesenjangan
ekonomi. Dampak dari kesenjangan ekonomi ialah munculnya berbagai permasalahan
kesehatan pada masyarakat miskin dengan sanitasi yang buruk. Salah satunya
ialah penyakit kolera.
Kolera adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh bakterium
Vibrio cholerae
yang bersifat akut. Penyakit ini ditandai oleh diare yang hebat dengan tinja
menyerupai air cucian beras (rice water), yang dengan cepat dapat
menimbulkan dehidrasi. Ada dua peran epidemiologik yang khas dari kolera, yaitu
kecenderungan untuk menimbulkan wabah secara eksplosif dan kemampuannya untuk
menjadi pandemik yang secara progresif mengenai banyak tempat di dunia terutama
di negara-negara berkembang dengan sanitasi yang buruk.
Oleh karena itu, dengan adanya
permasalahan-permasalahan yang muncul maka penulis membuat makalah ini secara
maksimal dengan harapan mampu menambah pengetahuan penulis serta pembaca
tentang penyakit kolera serta pencegahannya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah konsep
penyebab serta elemen
penyakit kolera?
2.
Bagaimanakah pencegahan
penyakit kolera?
3. Apa saja program
pemerintah yang telah dilaksanakan dalam rangka menyelesaikan
masalah penyakit kolera
di Indonesia?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui konsep
penyebab serta elemen
penyakit kolera.
2.
Untuk mengetahui pencegahan
penyakit kolera .
3.
Untuk
mengetahui program Pemerintah yang
telah dilaksanakan dalam rangka menyelesaikan
masalah penyakit kolera
di Indonesia.
1.4
Manfaat
Adapun manfaat yang bisa diambil dari
penulisan makalah ini adalah:
1.
Bagi
pemerintah membantu dalam pembuatan program dalam
rangka menyelesaikan masalah penyakit menular terutama kolera di Indonesia.
2. Bagi
teknisi kesehatan mampu mengetahui dan melakukan
upaya-upaya pencegahan serta pengobatan penyakit kolera.
3. Bagi masyarakat mampu melakukan upaya pencegahan
sedini mungkin terhadap penyakit kolera salah satunya
dengan menjaga kebersihan personal serta lingkungan sekitar.
4. Bagi mahasiswa mampu menumbuhkan
kepekaan dan kepedulian terhadap
permasalahan
yang dihadapi masyarakat khususnya pada
penyakit kolera.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Penyakit Kolera
Kolera adalah penyakit menular di
saluran pencernaan yang disebabkan oleh infeksi usus yang bersifat akut akibat
terkena bakterium Vibrio cholerae. Infeksi biasanya ringan atau tanpa gejala,
tapi terkadang parah. bakteri ini masuk kedalam tubuh seseorang melalui makanan
atau minuman yang terkontaminasi. Bakteri tersebut mengeluarkan enterotoksin
(racunnya) pada saluran usus sehingga terjadilah diare (diarrhoea) disertai
muntah yang akut dan hebat, akibatnya seseorang dalam waktu hanya beberapa hari
kehilangan banyak cairan tubuh dan masuk pada kondisi dehidrasi. Apabila
dehidrasi tidak segera ditangani, maka akan berlanjut kearah hipovolemik dan
asidosis metabolik dalam waktu yang relatif singkat dan dapat menyebabkan
kematian bila penanganannya tidak adekuat. Pemberian air minum biasa tidak akan
banyak membantu, Penderita (pasien) kolera membutuhkan infus cairan gula
(Dextrose) dan garam (Normal saline) atau bentuk cairan infus yang di mix
keduanya (Dextrose Saline).
Nama ilmiah kolera adalah Vibrio
cholerae. Vibrio cholerae adalah jenis bakteri, ketika infeksi terjadi, dapat
mengakibatkan penyakit diare akut yang dapat menyebabkan dehidrasi yang parah
dan bahkan kematian dalam hitungan jam (kolera).Vibrio cholerae adalah batang
gram negatif. Mereka adalah fakultatif anaerob, yang berarti mereka dapat
bertahan hidup baik dengan atau tanpa oksigen.
Ada
dua jenis umum Vibrio cholerae:
1.
Vibrio cholera serogrup O1 non-bakteri.
2.
Vibrio cholera serogrup O1.
Dalam kebanyakan kasus, Vibrio cholerae
serogrup O1 adalah jenis Vibrio cholerae yang menyebabkan kolera. Vibrio
cholera serogrup O139, sebuah Vibrio cholerae serogrup O1 non-bakteri, adalah
penyebab lain dari kolera. Ada sekitar 70 spesies lain dari Vibrio cholera
serogrup O1 non-bakteri, namun spesies lainnya jarang menyebabkan diare.
Kolera merupakan penyakit yang sudah
langka di negara-negara perindustrian dalam seratus tahun belakangan ini,
tetapi penyakit ini masih sering terdapat di beberapa bagian dunia termasuk
sub-benua India dan bagian benua Afrika di sebelah selatan gurun Sahara
(sub-Sahara). Sebenarnya Kolera adalah penyakit yang dapat diobati dengan
mudah, Kebersihan dan menjaga kebersihan sangat diperlukan. Karena hal ini
terutama yang menonjol di negara-negara miskin, mendidik orang di negara-negara
berkembang tentang kebersihan jalan akan ikut dalam pengendalian dan
pemberantasan penyakit ini.
2.2 Etiologi Kolera
Vibrio cholerae adalah kuman aerob, gram
negatif berukuran 0,2-0,4 mm x 1,5-4,0 mm, mudah dikenal dalam sediaan tinja
kolera dengan pewarnaan gram sebagai batang-batang pendek sedikit bengkok
(koma), sedikit melengkung dapat bergerak, tersusun berkelompok seperti kawanan
ikan yang berenang dan mempunyai flagela
polar tunggal, serta dapat menimbulkan diare akut.
Secara garis besar, V.cholerae dibedakan
atas O1 dan non-O1 menurut antigen somatiknya, namun secara biokimiawi keduanya
tidak dapat dibedakan satu sama lain. Vibrio cholerae O1 memiliki sedikitnya
satu antigen somatik yang unik, yang memberikan reaksi aglutinasi hanya dengan
O1 antiserum. Antigen flagela (H) yang sifatnya termolabil, juga diproduksi,
tetapi manfaatnya terbatas karena secara umum kesamaan antigen H dijumpai pada
semua spesies Vibrio. Vibrio cholerae O1 dapat diuji lebih jauh menurut serotipenya.
Ada 3 serotipe V.cholerae O1, yaitu (i) Ogawa, (ii) Inaba, dan (iii) Hikojima.
Serotipe Hikojima jarang dijumpai dan tidak stabil, dan pada umumnya diabaikan,
sehingga hanya Ogawa dan Inaba saja yang sering dilaporkan serta dianggap
signifikan. Vibrio cholerae O1 kecuali dibedakan atas serotipe Ogawa dan Inaba
juga dibedakan menurut biotipenya yaitu klasik dan El Tor.
Vibrio cholerae dapat tumbuh cepat dalam
berbagai dari media selektif seperti agar garam empedu,
agar-gliserin-telurit-taurokolat, atau agar thiosulfate-citrate-bile
salt-sucrose (TCBS). Kelebihan medium TCBS ialah pemakaiannya tidak memerlukan
sterilisasi sebelumnya. Dalam medium ini koloni vibrio tidak berwarna
kuning-suram. Identifikasi Vibrio cholerae biotipe El Tor penting untuk tujuan
epidemiologis. Sifat-sifat penting yang membedakannya dengan biotipe kolera
klasik adalah resistensi terhadap polimiksin B, resistensi terhadap kolerafaga
tipe IV dan menyebabkan hemolisis pada eritrosit kambing (Soemarsono, 2006).
2.3 Tanda dan Gejala
Pada
penderita penyakit kolera ada beberapa hal tanda dan gejala yang tampak, antara
lain:
a. Diare
yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa mulas atau tenesmus (nyeri).
b. Feces
atau kotoran (tinja) yang semula berwarna dan berbau berubah menjadi cairan
putih keruh (seperti air cucian beras).
c. Feces
(cairan) yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan
gumpalan-gumpalan putih.
d. Diare
terjadi berkali-kali dan dalam jumlah yang cukup banyak.
e. Terjadinya
muntah setelah didahului dengan diare yang terjadi, penderita tidaklah
merasakan mual sebelumnya.
f. Kejang
otot perut bisa juga dirasakan dengan disertai nyeri yang hebat.
g. Banyaknya
cairan yang keluar akan menyebabkan terjadinya dehidrasi. Jika tidak segera
mendapatkan penangan pengganti cairan tubuh yang hilang dapat mengakibatkan
kematian.
2.4 Cara Penularan
Telah diketahui bahwa penyebaran kolera secara
primer melalui air minum yang terkontaminasi, tetapi penelitian wabah
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa binatang laut seperti kerang, tiram dan
remis, serta udang dan kepiting, dapat juga menjadi perantara ( vehicle )
transmisi yang penting untuk infeksi Vibrio. Beberapa dari jenis binatang laut
ini bahkan hidup jauh di tengah laut. .Air sumur dan mata air dapat
terkontaminasi dengan V.cholerae sehingga dapat menjadi tempat hidup sekaligus
transmisi dari kuman tersebut. Juga air yang disimpan di tempat penyimpanan
yang bermulut lebar seperti tempayan, dapat terkontaminasi melalui tangan atau
benda-benda lain yang digunakan untuk mengambil air.
Di samping kontaminasi air yang
merupakan rute utama transmisi kolera, makanan juga merupakan faktor penting
dalam penularan kolera, terutama makanan yang tidak dimasak atau setengah
matang. Di makanan, V.cholerae dapat hidup antara 2-14 hari dan ketahanan hidup
ini menjadi lebih baik bila makanan dimasak terlebih dahulu sebelum terjadi
kontaminasi. Dengan memasak flora kompetitif terbunuh, dan zat-zat penghambat
pertumbuhan yang sifatnya termolabil rusak oleh pemanasan. Juga dengan memasak terbentuk
bahan-bahan protein yang sudah mengalami denaturasi, yang baik untuk
pertumbuhan V.cholerae.
Ikan dan kerang-kerangan telah lama
diketahui berperan dalam transmisi kolera. Binatang-binatang laut itu dapat
terkontaminasi oleh V.cholerae melalui air di mana kuman itu secara persisten
sudah berada di sana, atau karena air terkontaminasi oleh tinja manusia. Di
beberapa tempat, ikan dan kerang-kerangan dimakan dalam keadaan mentah sehingga
menyebabkan terjadinya infeksi. Kejadian infeksi Vibrio di beberapa tempat di
Amerika Serikat, seperti di Florida dan Teluk Meksiko, dilaporkan sebagai
akibat dari konsumsi makanan laut (seafood) yang tidak dimasak dengan benar.
Transmisi langsung dari orang ke orang sangat kecil
kemungkinannya karena dosis infeksi kolera tinggi. Juga transmisi melalui lalat
secara epidemiologik tidak memainkan peranan penting. Secara teoritis, lalat
dapat mengontaminasi makanan di mana Vibrio berkembang biak sampaijumlah dosis
infektif tetapi belum ada bukti dan laporan terjadinya wabah kolera yang
berkaitan dengan transmisi oleh lalat.
2.5 Pengobatan
Penderita yang mengalami penyakit
kolera harus segera mandapatkan penaganan segera, yaitu dengan segera mengganti
cairan, garam dan mineral dari tubuh. Untuk penderita yang mengalami dehidrasi
berat, cairan perlu diberikan melalui infus. Di daerah wabah, jika tidak
tersedia cairan untuk infus, maka cairan dapat diberikan melalui selang yang
dimaksukkan lewat hidung menuju ke lambung. Bila dehidrasi sudah diatasi,
tujuan pengobatan selanjutnya adalah menggantikan jumlah cairan yang hilang
karena diare dan muntah. Makanan padat bisa diberikan setelah muntah-muntah
berhenti dan nafsu makan kembali.
Antibiotik biasanya diberikan untuk mengurangi
keparahan diare dan membuatnya segera berhenti. Tetracycline atau doxycycline
merupakan antibiotik yang efektif untuk orang dewasa, kecuali pada bakteri yang
resisten. Selain itu, dapat juga diberikan ciprofloxacin. Pada anak-anak yang
berusia di bawah 8 tahun, karena tetracycline dan doxycycline dapat merubah
warna gigi, maka dapat digunakan azithromycin, erythromycin, atau
trimethoprim-sulfamethoxazole.
Sebanyak 50% kasus kolera yang
tergolang berat tidak dapat diatasi (meninggal dunia), sedangkan sejumlah 1%
penderita kolera yang mendapat penanganan kurang adekuat meninggal dunia.
(massachusetts medical society, 2007 : Getting Serious about Cholera).
Dasar
pengobatan kolera yaitu pengobatan yang bersifat simtomatik, causal,
penggantian cairan dan dietetik.
a. Terapi Cairan
Pengobatan utama pada kolera adalah penggantian cairan
elektrolit dan keseimbangan asam basa yang cepat dan adekuat, yaitu dengan
pemberian cairan yang tergantung pada dehidrasi ringan, sedang, berat menurut
WHO yaitu sebagai berikut.
Tanda dan Gejala
|
Dehidrasi Ringan
|
Dehidrasi Sedang
|
Dehidrasi Berat
|
Penampilan dan
keadaan umum bayi dan anak-anak muda usia
|
Haus, giat,
gelisah
|
Haus, gelisah
atau letargi tetapi iritatif terhadap sentuhan atau mengantuk
|
Mengantuk, lembek,
dingin, berkeringat, tungkai yang sianotik, mungkin komatosa
|
Anak-anak berusia
lebih lanjut dan dewasa
|
Haus, giat,
gelisah
|
Haus, giat,
hipotensi postural
|
Biasanya sadar,
kelihatan cemas, dingin, berkeringat, tungkai yang sianotik, kulit jari-jari
tangan dan kaki berkeriput, kejang otot
|
Denyut nadi radialis
|
Kecepatan dan
volume normal
|
Cepat dan lemah
|
Cepat, sangat lemah,
kadang-kadang tidak teraba
|
Pernafasan
|
Normal
|
Dalam, mungkin
cepat
|
Dalam dan cepat
|
Fontanela depan
|
Normal
|
Cekung
|
Sangat cekung
|
Tekanan darah
sistolik
|
Normal
|
Normal atau
rendah
|
Kurang dari 90 mm, mungkin
tidak dapat dicatat
|
Kelenturan kulit
|
Cubitan segera
kembali normal
|
Cubitan kembali
dengan lambat
|
Cubitan kembali
dengan sangat lambat (>2 detik)
|
Mata
|
Normal
|
Cekung (dapat
diketahui)
|
Sangat cekung
|
Air mata
|
Ada
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Selaput lendir
|
Basah
|
Kering
|
Sangat kering
|
Pengeluaran air kemih
|
Normal
|
Jumlah berkurang
dan warna gelap
|
Tidak ada yang keluar
selama beberapa jam, kandung kemih kosong
|
% berat yang hilang
|
4-5 %
|
6-9 %
|
10 % atau lebih
|
Kekurangan cairan
yang diperkirakan
|
40-50 ml/kg
|
60-90 ml/kg
|
100-110 ml/kg
|
Rehidrasi dilaksanakan dua tahap yaitu: terapi rehidrasi dan
maintenance. Penderita dehidrasi berat dengan shock hipovolemik harus segera
diberi cairan pengganti secara intravena. Pada anak yang berusia lebih muda
dapat menerima cairan kurang lebih 30 ml/tts selama satu jam pertama, 40
ml/ts/dalam 2 jam berikutnya serta kurang lebih 40 mg/kg selama jam ketiga dan
selanjutnya pada anak-anak yang berusia lebih lanjut dan orang dewasa biasanya diberikan
jumlah keseluruhan tersebut dalam 3-4 jam, sedangkan kecepatan dan jumlah yang
tepat dari cairan pengganti serta pemeliharaan
selanjutnya disesuaikan dengan derajat
dehidrasi dan pengeluaran tinja yang terus berlangsung. Sesudah itu
biasanya dapat dimulai terapi oral dengan tujuan mempertahankan cairan yang masuk agar sama dengan yang keluar.
Monitoring atau pemantauan yang cermat dan teliti
terhadap tanda-tanda vital seperti tensi, nadi, respirasi, dan suhu, serta
perlu juga diperhatikan adanya ronkhi paru-paru yang sering mengakibatkan edema paru dan edema kelopak mata, untuk mencegah terjadinya hidrasi berlebihan. Cairan intravena yang dipilih dapat menggantikan
kehilangan cairan isotonus dan elektrolit yang terjadi melalui tinja kolera dan WHO
mengemukakan bahwa RL sebagai larutan yang terbaik dan perlu ditambahkan kalium
klorida (sebanyak 10m Ek/l) atau diberikan
per oral jika fungsi ginjal baik untuk mencegah hipokalemia berat.
Rehidrasi oral dapat diberikan secukupnya adalah tindakan utama kecuali apabila
anak kesadarannya kurang, muntah terus menerus, menderita ileus dan dalam
keadaan syok, pada keadaan ini yang paling tepat adalah rehidrasi intravena.
Penderita dengan derajat dehidrasi sedang atau
ringan mula-mula dapat diberikan cairan pengganti oral dengan tujuan
mempertahankan cairan yang masuk agar samadengan yang keluar. Larutan tersebut dapat dibuat dengan menggunakan
air minum biasa yang bersih (Oralit).
Penderita dengan dehidrasi sedang mendapatkan 100
mg/kg larutan garam dehidrasi oral selama 4 jam dan 50 ml/kg dalam waktu yang sama diberikan kepada penderita dengan
dehidrasi ringan. Penderita dengan derajat dehidrasi ringan larutan oral dapat
diberikan sebanyak 100 m/kg/hari hingga diare berhenti. Bayi yang disusui ASI
hendaknya dipertahankan untuk menyusui secara libitum selama pengobatan.
b.
Terapi Causal
Pengobatan berdasarkan causal
yaitu pemberian antibiotika yang merupakan obat utama untuk membunuh kuman
vibrio dan memperpendek masa dan volume
diare secara bermakna. Tetrasiklin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari selama 3 hari,
atau chloramphenicol dengan dosis 50-100 ml/kgBB/hari selama 5 hari atau dapat
diberikan doksisiklin 4 mg/kgBB/selama 3 hari.
c.
Terapi
Berdasarkan Sistomatik
Pemberian antipiretik dengan preparat salisilat
(asetosal, aspirin) yang berguna untuk menurunkan panas yang terjadi akibat dehidrasi atau panas karena infeksi
penyerta, juga dapat mengurangi sekresi cairan yang keluar bersama
tinja. Pemberian antiemetik seperti chlorpromazine (largactil) terbukti selain
mencegah muntah dapat juga mengurangi sekresi dan
kehilangan cairan bersama tinja. Pemberian dalam dosis adekuat yaitu 1 mg/kgBB/hari.
d.
Terapi
Dietetik
Bahan makanan yang kaya
energi atau tinggi kalori, protein dan mengandung kalium dapat diberikan.
Perhatian pada masukan makanan sangat penting dan harus dimulai sesegera
difisit telah terganti untuk meminimalkan dampak nutrisi pada penyakit. Bayi
yang disusui ASI tetap diberikan secara libitum utuk mengatasi kehilangan
cairan dan mencegah gangguan status gizi penderita.
2.6 Pencegahan
Ada beberapa yang harus
diperhatikan untuk mencegah penularan pada penyakit Kolera, antara lain sebagai
berikut:
·
Menerapkan
prinsip sanitasi lingkungan yang baik, terutama kebersihan air dan pembuangan
kotoran (feaces) pada tempatnya yang memenuhi standar lingkungan. Contoh, jarak antara sumber air (sumur) minimal 10m dari
septic tank.
·
Cuci
tangan sebelum makan ( menggunakan sabun )
·
Sebaiknya
mengisolasi anggota keluarga yang terserang penyakit kolera dan mensterilkan
benda yang tercemar oleh muntah atau tinja penderita penyakit kolera
·
Minum
air yang telah dimasak atau air yang telah diseterilisasi atau diolah melalui
cara tertentu
·
Memasak
sampai mendidih susu yang belum dipasteurisasikan (dipanaskan untuk
menghilangkan bakteri )
·
Menyiapkan
makanan dengan bersih dan memakannya sewaktu masih panas-panas kuku. Jika
dibiarkan untuk beberapa jam setelah dimasak dan diletakkan ditempat yang
bertemperatur ruangan, bakteri-bakteri dapat masuk kemakanan tersebut
·
Menghindari
memakan ikan dan kerang mentah atau dimasak setengah matang
·
Menghindari
memakan sayuran mentah atau buah-buahan yang belum dicuci
·
Meminum
oralit atau dapat menyimpan sendiri cairan sebagai berikut: Air mendidih + ½
sendok the garam + 8 sendok the gula + Air asam (jeruk nipis)
·
Pemberian
imunisasi dengan vaksin yang mengandung esktral lipopo lisakarida dari vibrio
atau suspense pekat vibrio.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.
Konsep Penyebab Penyakit dan Elemen Penyakit
a. Agent
Dalam
keadaan ilmiah, Vibrio cholerae hanya pathogen terhadap manusia. Seseorang yang
memiliki asam lambung yang normal memerlukan menelan sebanyak 1010 atau lebih
Vibrio cholerae dalam air agar dapat menginfeksi, sebab kuman ini sangat
sensitive terhadap suasana asam. Jika mediatornya makanan sebanyak 102 – 104
organisme yang diperlukan, karena kapasitas buffer yang cukup dari makanan.
Beberapa pengobatan dan keadaan yang dapat menurunkan kadar asam di lambung
membuat seseorang lebih sensitive terhadap infeksi Vibrio cholerae.
·
Enterotoksin
Enterotoksin
adalah suatu protein,dengan berat molekul 84.000 dalton tahan panas tetapi
tidak tahan asam. Resisten terhadap tripsin tetapi dirusak oleh protease.
Toksin kolera mengandung dua sub unit yaitu B (binding) dan A (active). Sub
unit B mengandung lima polipeptida, diman masing- masing molekul memiliki
aktivitas ADP ribosyltransferase dan menyebabkan transfer ADP ribose dari NAD
ke sebuah guanosine triphospate, binding protein yang mengatur aktivitas
adenilat siklase yang menakibatkan produksi cAMP yang menghambat absorpsi NaCl
dan merangsang ekskresi klorida, yang menyebabkan hilangnya air,NaCl, Kalium
dan Bikarbonat.
·
Perlekatan
( adheren )
Vibrio
cholerae tidak bersifat invasive, kuman ini tidak masuk dalam aliran darah
tetapi tetap berada dalam saluran usus. Vibrio cholerae yang virulen harus
menempel pada mikrovili permukaan sel epitel usus baru menimbulkan keadaan
patogen. Disana mereka melepaskan toksin kolera (enterotoksin). Toksin kolera
diserap di permukaan gangliosida sel epitel dan merangsang hipersekresi air dan
klorida dan menghambat absorpsi natrium. Akibatnya kehilangan banyak cairan dan
elektrolit. Secara histology, usus tetap normal.
b. Enviromental
Bahaya
nyata dari kolera biasanya setelah bencana seperti perang, kelaparan, atau
banjir, yang menciptakan tekanan pada air dan makanan tersedia sumber daya.
Pipa air minum bisa terkontaminasi akibat kebocoran. Kelangkaan kebutuhan dasar
ini membuat hidup sulit dan otoritas sipil tidak dapat dibenarkan situasi
dengan cepat. Hal lepas kendali dan orang-orang yang terkena dan terinfeksi
mungkin tidak bisa diidentifikasi dengan cepat dan dipisahkan dari seluruh
penduduk.
Penyakit
dapat menyebar lebih lanjut jika orang yang terinfeksi mulai menggunakan sumber
air kotor untuk membersihkan diri mereka sendiri dan untuk buang dari limbah.
Langkah-langkah berikut ini dapat diambil untuk mencegah penyebaran penyakit
dan membawanya di bawah kendali.
-
Direbus
atau hanya minum air murni
-
Hindari
makan makanan mentah. Buah untuk dimakan setelah mengupas secara pribadi.
-
Hindari
makan makanan mentah dan kerang
-
Hindari
salad
-
Sanitasi
dan sistem pemurnian air yang akan dimonitor
-
Sayuran
dan buah-buahan harus dicuci dengan larutan kalium permanganat.
-
Pendidikan
kesehatan
3.2 Level Pencegahan Penyakit
a.
Primer :
-
Penyediaan
makanan dan air yang bebas dari
kontaminasi patogen.
-
meminum
air yang sudah masak atau benar-benar bersih serta menggunakan air tesebut untuk gosok gigi, mencuci buah dan peralatan
makan.
-
Pasteurisasi
susu untuk mengeliminasi patogen penyebab penyakit.
-
Imunisasi.
b.
Sekunder :
-
Melakukan
diagnosis dini melalui rumah sakit atau instansi yang dapat melakukan diagnosis
penyakit kolera.
c.
Tersier :
-
Pemberian
suplai makanan dan cairan untuk tubuh agar tidak terjadi dehidrasi.
-
Pemberian
antibiotik secara rutin.
3.3 Program Pemerintah
Mengembangkan dan melaksanakan strategi
perbaikan kondisi air minum dan kebersihan secara nasional. Pemerintah beserta
UNICEF juga memberi wawasan tentang air yang aman melalui program Pembangunan
dan Kelangsungan Hidup Anak. Disamping itu, UNICEF juga membantu gerakan Suplai
Air Bersih dan Kebersihan Dasar. Gerakan ini mencakup rehabilitasi dan
konstruksi sumur dangkal, tanki penampungan air hujan dan sistem pipa
gravitasi. Pembangunan toilet, fasilitas mandi cuci dan pembuangan sampah di
sekolah-sekolah, di pusat kesehatan masyarakat dan di bangunan keagamaan
bersama mitra kerjanya, UNICEF juga menyediakan air minum.
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Konsep penyebab serta elemen penyakit kolera diantara
lain disebabkan oleh agent, dan juga oleh lingkungan sanitasi yang buruk.
b.
Pencegahan penyakit
kolera antara
lain:
-
Primer :
·
Penyediaan
makanan dan air yang bebas dari
kontaminasi patogen.
·
Meminum air yang sudah masak atau benar-benar bersih serta
menggunakan air tesebut untuk gosok
gigi, mencuci buah dan peralatan makan.
·
Pasteurisasi
susu untuk mengeliminasi patogen penyebab penyakit.
·
Imunisasi.
-
Sekunder
: Melakukan diagnosis dini melalui rumah sakit atau instansi
yang dapat melakukan diagnosis penyakit kolera.
-
Tersier :
·
Pemberian
suplai makanan dan cairan untuk tubuh agar tidak terjadi dehidrasi.
·
Pemberian
antibiotik secara rutin.
c. Program
pemerintah yang telah dilaksanakan dalam rangka menyelesaikan
masalah penyakit kolera
di Indonesia antara lain mengembangkan dan
melaksanakan strategi perbaikan kondisi air minum dan kebersihan secara
nasional. Selain itu pemerintah
beserta UNICEF juga memberi wawasan tentang air yang aman melalui program
Pembangunan dan Kelangsungan Hidup Anak. Disamping itu, UNICEF juga membantu
gerakan Suplai Air Bersih dan Kebersihan Dasar.
4.2 Saran
1. Meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang gejala dan atau tanda-tanda, penyebab serta
penyebaran kolera.
2. Meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat pada masyarakat.
3.
Meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang pentingnya sanitasi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2012. Kolera. http://medicastore.com/penyakit/210/Kolera.html [09 Maret 2014]
Admin. 2013. Obat Penyakit Kolera. http://tribulusmacca.com/obat-penyakit-kolera/ [09 Maret 2014]
Departement Of Health And Human Service,
Centers For Desease Control And Prevention (CDC)./Pdf.
Murad Lesmana,”Perkembangan Mutakhir Infeksi Kolera”, Jurnal Kedokteran Trisakti,
Vol.23 No.3 (Juli-September, 2004). 105.
Yoga, L., dan Natasukma, S. 2010. Kolera. http://id.scribd.com/doc/33262599/Kolera [09 Maret 2014]