BAB
I
PEDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Dewasa ini tak kurang penyakit yang
menyerang manusia. Banyak penyakit disekitar kita ini sebenarnya bisa kita
cegah dengan perilaku sehat. Dengan kata lain kunci untuk mencapai kesehatan
yang lebih baik adalah dengan mengembangkan strategi untuk mengabungkan pilihan
sehat dalam keseharian kita dengan berperilaku sehat. Perilaku
kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan
dengan sehat–sakit, penyakit, dan faktor–faktor yang mempengaruhi sehat–sakit
(kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman dan pelayanan kesehatan.
Dengan kata lain, perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan
seseorang baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati yang
berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan
ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan
lain, meningkatkan kesehatan dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena
masalah kesehatan.(1)
Health Belief Model
merupakan suatu konsep yang mengungkapkan alasan dari individu untuk mau atau
tidak mau melakukan perilaku sehat. Health
Belief Model juga dapat diartikan sebagai sebuah konstruk teoritis mengenai
kepercayaan individu dalam berperilaku sehat. Health Belief Model adalah suatu model yang digunakan untuk
menggambarkan kepercayaan individu
terhadap perilaku hidup sehat, sehingga
individu akan melakukan perilaku sehat, perilaku sehat tersebut dapat berupa
perilaku pencegahan maupun penggunaan fasilitas kesehatan. Health Belief Model ini sering digunakan untuk memprediksi perilaku
kesehatan preventif dan juga respon perilaku untuk pengobatan pasien dengan
penyakit akut dan kronis.
Health
Belief Model
dipelajari sebagai model perilaku terhadap gejala-gejala sakit yang
terdiagnosis terutama tentang kepatuhan terhadap proses pencarian penyembuhan. Apabila
individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada empat variabel
kunci yakni kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan yang
dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakan
melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. Teori health belief model
ini didasari oleh teori Kurt Lewin. Conner: 2003 dalam bukunya menuliskan bahwa
hubungan antara prinsip hidup sehat yang benar dengan perilaku sehat ini
mengikuti terminologi konsep Lewin (1951) mengenai valensi yang menyumbangkan
bahwa perilaku dapat berubah lebih atraktif atau kurang atraktif.(5)
B.
TUJUAN
Tujuan
dari makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui Pengertian, Struktur dan ruang lingkup mengenai Health Belief Model
2. Untuk
mengetahui bagaimana penerapan penilaian Health
Belief Model dalam studi kasus.
C.
MANFAAT
Manfaat
yang diharapkan dari hasil makalah ini adalah :
1. Sebagai
praktisi dibidang kesehatan kita dapat mengerti dan memahami tentang konsep
teori Health Belief
Model.
2. Sebagai
praktisi dibidang kesehatan kita dapat
mengerti dan memahami bagaimana penerapan konsep Health Belief Model dalam menganalisis suatu kejadian atau pola
masalah kesehatan di masyarakat.
BAB II
TEORI HEALTH BELIEF MODEL
A.
Konsep
Health Belief Model
Health Belief Model dikembangkan pertama kali pada
tahun 1950 oleh seorang psikologis sosial di layanan kesehatan Publik Amerika Serikat yaitu
dimulai dengan adanya kegagalan pada program
pencegahan dan penyembuhan
penyakit (Hocbaum 1958, Rosenstok 1960-1974).Tapi, psikolog sosial di Amerika
Serikat ini mendapati masalah dengan sedikitnya orang yang berpartisipasi dalam
program pencegahan dan deteksi penyakit. Irwin Rosenstock (1974) adalah
tokoh yang mencetuskan health belief model untuk pertama kali bersama
Godfrey Hochbaum (1958). Mereka mengembangkannya dengan mengemukaan kerentanan
yang dirasakan untuk penyakit TBC. Stephen Kegels (1963) menunjukkan hal yang
serupa mengenai kerentanan yang dirasakan untuk masalah gigi yang parah dan
perhatian untuk mengunjungi dokter gigi menjadi tindakan prefentif sebagai
salah satu solusi masalah gigi.
Model kepercayaan kesehatan adalah
sebuah bentuk perilaku dimana seseorang memberikan penilaian dan penjabaran
terhadap kesehatan dari segi sosio-psikologis. Sedangkan perilaku adalah respon
individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan
mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak.
Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering
tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang
seseorang tidak sempat memikirkan penyebab menerapkan perilaku tertentu.
Health Belief Model ini merupakan model kognitif yang
artinya perilaku individu dipengaruhi proses kognitif dalam dirinya.
Proses kognitif ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penelitian
sebelumnya yaitu variabel demografi, karakteristik sosiopsikologis, dan
variabel struktural. Variabel demografi meliputi kelas, usia, jenis kelamin.
Karakteristik sosisopsikologis meliputi, kepribadian, teman sebaya (peers),
dan tekanan kelompok. Variabel struktural yaitu pengetahuan dan pengalaman
tentang masalah.
Pada
awal dibentuknya, model ini hanya memiliki empat komponen dasar, kemudian
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, model ini pun dikembangkan dengan
ditambahkan beberapa faktor pendukung lainnya. Health
Belief Model mengandung konsep utama yaitu memprediksikan mengapa seseorang
melakukan tindakan tertentu untuk menjaga, melindungi dan mengendalikan
kondisi sakit. Komponen Health belief model,
diantaranya:
1.
Perceived
susceptibility (kerentanan yang dirasakan)
Hal
ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko dari kondisi
kesehatannya. Di dalam kasus penyakit secara medis, dimensi tersebut meliputi
penerimaan terhadap hasil diagnosa, perkiraan pribadi terhadap adanya resusceptibilily (timbul kepekaan kembali),
dan susceptibilily (kepekaan)
terhadap penyakit secara umum.
Menurut Conner & Norman (2003) Perceived Susceptibility juga
mempengaruhi munculnya perilaku sehat. Ketika seseorang mengetahui bahwa
dirinya berisiko terkena suatu penyakit, maka terbentuk keyakinan bahwa dirinya
memang berisiko. Oleh karena itu, ia akan berusaha melakukan hal-hal yang
dianggapnya mampu mengurangi potensi risiko tersebut. Semakin tinggi risiko
yang diyakini seseorang, semakin tinggi pula kecenderungannya untuk berperilaku
sehat dengan harapan mengurangi risiko tersebut. Sayangnya, ini juga berlaku
sebaliknya. Ketika seseorang merasa tidak berisiko terkena penyakit, ia juga
cenderung berperilaku tidak sehat (Hayden, 2014). Meski demikian, pernyataan
tersebut bukan hukum mutlak, Terkadang keyakinan akan risiko penyakit tidak
berimplikasi pada perilaku sehat maupun tidak sehat.
2.
Perceived severity
(keseriuasan yang dirasa)
Persepsi
mengenai keseriusan suatu penyakit,
meliputi kegiatan evaluasi terhadap konsekuensi klinis dan medis (sebagai
contoh, kematian, cacat, dan sakit) dan konsekuensi sosial yang mungkin terjadi
(seperti efek pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial). Banyak
ahli yang menggabungkan kedua komponen diatas sebagai ancaman yang dirasakan (perceived
threat). Hal
ini berarti perceived severity berprinsip pada persepsi keparahan yang
akan diterima individu.
3.
Perceived benefits
(manfaat yang dirasakan).
Perceived Benefits adalah kepercayaan terhadap
keuntungan dari metode yang disarankan untuk mengurangi risiko penyakit. Ini
tergantung pada kepercayaan seseorang terhadap efektivitas dari berbagai upaya
yang tersedia dalam mengurangi risiko penyakit, atau keuntungan-keuntungan yang
dirasakan (perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya kesehatan tersebut.
Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan (susceptibility) dan keseriusan (seriousness), sering tidak diharapkan
untuk menerima apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya
tersebut dirasa manjur dan cocok.
Perceived benefits secara ringkas berarti persepsi
keuntungan yang memiliki hubungan positif dengan perilaku sehat. Individu yang
sadar akan keuntungan deteksi dini penyakit akan terus melakukan perilaku sehat
seperti medical check up rutin. Contoh lain adalah kalau tidak merokok,
dia tidak akan terkena kanker.
4.
Perceived barriers
(hambatan yang dirasakan untuk berubah)
Perceived barriers secara singkat berarti persepsi
hambatan atau persepsi menurunnya kenyamanan saat meninggalkan perilaku tidak
sehat. Aspek-aspek negatif yang potensial dalam
suatu upaya kesehatan (seperti: ketidakpastian, efek samping), atau penghalang
yang dirasakan (seperti: khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang
mungkin berperan sebagai halangan untuk merekomendasikan suatu perilaku.
5.
Cues to action
Cues to action adalah faktor mempercepat tindakan
yang membuat seseorang merasa butuh mengambil tindakan atau melakukan tindakan
nyata untuk melakukan perilaku sehat. Untuk
mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan
keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor
eksternal maupun internal, misalnya pesan-pesan pada media massa, nasihat atau
anjuran kawan atau anggota keluarga lain, aspek sosiodemografis misalnya
tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal, pengasuhan dan pengawasan orang
tua, pergaulan dengan teman, agama, suku, keadaan ekonomi, sosial, dan budaya. Cues to action merupakan elemen tambahan
dari elemen dasar Health Belief Model.
6.
Self Efficacy
Pada tahun 1988, self-efficacy
ditambahkan dengan empat keyakinan asli dari Health Belief Model (Rosenstock, Strecher,
& Becker, 1988).
Biasanya, seseorang tidak akan mencoba melakukan sesuatu
perubahan baru sampai mereka menyadari bahwa mereka bisa melakukan perubahan
tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Rotter (1966) dan Wallston
mengenai teori self-efficacy oleh Bandura yang penting sebagai kontrol
dari faktor-faktor perilaku sehat. Self efficacy dalam istilah umum adalah
kepercayaan diri seseorang dalam menjalankan tugas tertentu. Self
Efficacy adalah kepercayaan seseorang mengenai kemampuannya untuk
mempersuasi keadaan atau merasa percaya diri dengan perilaku sehat yang
dilakukan. Self efficcay dibagi menjadi dua yaitu outcome expectancy
seperti menerima respon yang baik dan outcome value seperti menerima
nilai sosial.
7.
Modifying Factors
Variasi dari model ini
merupakan nilai yang dirasakan serta intervensi yang
ditentukan sebagai keyakinan utama. Kontruksi dari faktor mediasi kemudian
menjadi penghubung berbagai jenis persepsi dengan perilaku kesehatan di
masyarakat. Faktor lain yang juga mempengaruhi persepsi antara lain:
a. Variabel demografi : Umur,
jenis kelamin, ras, pekerjaan.
b. Variabel sosio-psikologi: Status
sosial ekonomi, kepribadian, strategi coping.
c. Variabel Struktur : Kelas Social,
akses ke pelayanan kesehatan, dll.
d. Persepsi efikasi : penilaian
diri dalam hal kemampuan untuk berhasil mengadopsi perilaku
yang diinginkan
e. Isyarat untuk tindakan :
Pengaruh ekternal dalam mempromosikan perilaku yang diinginkan, termasuk informasi
yang diberikan atau dicari, komunikasi persuasif, dan
pengalaman pribadi.
f. Motivasi kesehatan : individu terdorong untuk
tetap pada keadaan sehat.
g. Kontrol Perasaan : ukuran tingkat self-efficacy.
h. Ancaman : termasuk bahaya yang
muncul tanpa melakukan tindakan kesehatan.
Prediksi dari model
tersebut merupakan kemungkinan yang dilakukan individu untuk
mengambil tindakan kesehatan yang direkomendasikan (seperti
pencegahan dan pengobatan)
Gambar 1. Health Belief Model oleh Rosenstock, Becker (1988)
B.
Faktor esensial dalam Health Belief Model
Analisis terhadap berbagai faktor
yang mempengaruhi partisipasi masyarakat pada program tersebut kemudian
dikembangkan sebagai model perilaku. Health Belief Model didasarkan
atas 3 faktor esensial :
1.
Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka
menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan.
2.
Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya
merubah perilaku.
3.
Perilaku itu sendiri.
Ketiga faktor diatas dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain yang berhubungan dengan kepribadian dan lingkungan individu, serta
pengalaman berhubungan dengan sarana & petugas kesehatan.
Kesiapan individu dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti persepsi tentang kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman,
motivasi untuk memperkecil kerentanan terhadap penyakit, potensi ancaman, dan
adanya kepercayaan bahwa perubahan perilaku akan memberikan keuntungan.
Faktor yang mempengaruhi perubahan
perilaku adalah perilaku itu sendiri yang dipengaruhi oleh karakteristik
individu, penilaian individu terhadap perubahan yang di tawarkan, interaksi
dengan petugas kesehatan yang merekomen-dasikan perubahan perilaku, dan
pengalaman mencoba merubah perilaku yang serupa.
C.
Kelebihan dan Kekurangan Health Belief Model
1.
Kelebihan Health Belief Model
1.1
Mampu mengidentifikasi sebab perilaku sehat dan
tidak sehat yang berbeda antar individu
1.2
Dasar untuk menyusun intervensi perilaku sehat
yang berlaku untuk perorangan
1.3
Health Belief Model bersifat mudah dan
sederhana dalam menjelaskan perilaku sehat.
2.
Kekurangan Health Belif Model
a.
Tidak ada acuan yang jelas tentang bagaimana mengoperasionalisasikan
konstruk-konstruk dalam Health Belief
Model
b.
Beragamnya operasionalisasi peneliti tentang Health Belief Model melemahkan posisinya
sebagai model psikologi yang koheren
c.
Hanya sedikit studi yang menggunakan Health Belief Model untuk memahami perilaku yang berhubungan
dengan masa lalu
d.
Komponen dalam Health Belief Model tidak bisa menjelaskan hubungan antara efek
struktur sosial dengan perilaku sehat.
e.
Health Belief
Model mulanya dianggap kurang komperhensif untuk
menjelaskan bagaimana hubungan antara health belief dengan tahapan
psikologis dalam pembuatan keputusan dan tindakan
f.
Penerapan Health
Belief Model terbatas pada kelompok tertentu, sulit digeneralisasi.(5)
3.
Ruang
Lingkup dan Aplikasi
Health
Belief Model telah diterapkan pada berbagai perilaku
kesehatan dan populasi subjek. Tiga bidang yang luas dapat diidentifikasi
(Conner & Norman, 1996):
a.
Perilaku kesehatan
preventif, yang meliputi promosi kesehatan (misalnya diet, olahraga) dan
kesehatan berisiko (misalnya merokok) perilaku serta vaksinasi dan praktik
kontrasepsi.
b.
Perilaku peran Sakit,
yang mengacu pada kepatuhan terhadap rejimen medis direkomendasikan, biasanya
setelah diagnosis profesional penyakit.
c.
Klinik digunakan, yang
meliputi kunjungan ke dokter untuk berbagai alasan.
BAB
III
STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN
A.
STUDI
KASUS
Abstrak
Pengetahuan dan Persepsi Ibu yang
Menolak
Pemberian Imunisasi Dasar Balita
Dewi Wulandari1, Meidiana Dwidiyanti 2
1Politeknik Kesehatan Bhakti Mulia
2Universitas Diponegoro
1Politeknik Kesehatan Bhakti Mulia
2Universitas Diponegoro
Imunisasi merupakan salah
satu upaya kesehatan masyarakat yang sangat penting karena dapat melindungi balita
dari berbagai macam penyakit. Namun, ternyata tidak semua lapisan masyarakat
bersedia menerima program imunisasi ini dengan baik, diantaranya beberapa ibu
diDesa Godog yang juga merupakan Istri – istri dari tokoh agama setempat yang
memiliki pengaruh cukup besar. Terdapat 14 orang dari 146 balita (9,59%) tidak
mendapatkan imunisasi dasar di Dukuh Tulakan Desa Godog. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengetahuan dan persepsi ibu mengenai imunisasi dasar
balita yang meliputi pengertian, tujuan, manfaat, jenis dan asal bahan-bahan
vaksin. Penelitian
ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan fenomenologis dilakukan
terhadap 6 responden dengan cara melakukan Focuss group Discussion (FGD) dalam
pengumpuan datanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu – ibu tersebut
memahami imunisasi dasar4 balita sebagai memasukkan kuman penyakit ke dalam
tubuh anak yang sehat, Imunisasi tidak bermanfaa, bahkan berbahaya bagi
kesehatan anak. Macam-macam imunisasi dasar yang mereka ketahui adalah
Hepatitis, Polio, Campak dan BCG. Meurut mereka, penyakit – penyakit tidak
harus dicegah dengan imunisasi, melainkan dengan mengkonsumsi bahan-bahan alami
dan menghindari bahan-bahan kimia buatan. Mereka menolak imunisasi karena
meragukan kehalalan vaksin.(4)
Kata kunci : pengetahuan, persepsi, ibu, menolak, imunisasi
dasar
B.
PEMBAHASAN
STUDI KASUS DARI TINJAUAN TEORI HEALTH
BELIEF MODEL
1.
Perceived
Seriousness (Keseriusan yang dirasa) :
Persepsi
ibu-ibu tentang penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi dasar adalah
penyakit yang berbahaya bagi balita mereka. Namun menurut mereka, cara
pencegahannya tidak harus dengan dilakukan imunisasi, melainkan dengan
bahan-bahan alamiah.
Penelitian Smith, et al yang mengungkapkan
bahwa dibandingkan dengan orang tua yang
tidak
tertunda atau tidak menolak vaksin, orang tua yang tertunda dan menolak vaksin
secara signifikan lebih kecil kemungkinannya
untuk percaya bahwa vaksin diperlukan untuk melindungi
kesehatan anak-anak. Kerentanan yang dirasakan rendah terhadap suatu penyakit dapat disebabkan karena minimnya
pengetahuan tentang bahaya penyakit tersebut.
2.
Perceived
Susceptibility (keseriusan yang dirasakan) :
.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa responden atau ibu meyakini bahwa imunisasi
adalah memasukkan kuman, virus , bahan kimia atau penyebab penyakit ke dalam
tubuh anaknya. Bahan-bahan vaksin berasal dari bahan haram seperti ginjal kera,
janin yang digugurkan, sel babi yang justru berbahaya apabila dimasukkan ke
dalam tubuh anaknya.
Keseriusan yang dirasakan seseorang
berbeda, bergantung pada pengetahuan medisnya tentang
penyakit, dapat tidaknya penyakit tersebut menyerangnya dan kemampuan tubuhnya dalam menghadapi penyakit tersebut. Artikel
review yang dilakukan Abdallah Salamatu, dkk. (2016) di Nigeria menjelaskan
bahwa sebelum orang tua memiliki informasi yang lengkap tentang imunisasi,
mereka akan merasa bahwa vaksin tersebut akan menyebabkan komplikasi kebutaan,
kecacatan fisik bahkan kecacatan mental pada anak-anak.
3.
Perceive
Benefits :
Ibu yang menolak imunisasi dasar
beranggapan bahwa imunisasi yang memiliki kandungan bahan kimia dan bahan haram,
tidak memiliki manfaat, tidak aman dan semakin berbahaya bagi kesehatan tubuh
anak-anak mereka.
Seseorang
akan cenderung untuk menerapkan perilaku sehat ketika ia merasa perilaku tersebut bermanfaat untuk menurunkan kasus penyakit.
4.
Perceive
Barrier:
Para
ibu yang menolak imunisasi tidak memahami dengan baik tujuan dan manfaat dari
program imunisasi karena pengetahuan tentang imunisasi yang masih kurang.
Sebagian beranggapan bahwa program imunisasi erat hubungannya dengan program
komersial / urusan bisnis orang barat. Kemudian adanya perasaan takut
menggunakan bahan vaksin yang haram.
Penelitian
yang dilakukan Deswiyanti (2014) menyebutkan hambatan lain yang diungkapkan ibu yang
tidak lengkap mengimunisasikan anaknya
yaitu anak
sakit. Pengetahuan ibu yang terbatas tentang dapat tidaknya anak yang sakit
diimunisasi dan ketakutan ibu bahwa vaksinasi akan menyebabkan anak yang sedang sakit tersebut akan semakin parah sakitnya ketika diimunisasi.
diimunisasi dan ketakutan ibu bahwa vaksinasi akan menyebabkan anak yang sedang sakit tersebut akan semakin parah sakitnya ketika diimunisasi.
5.
Cues
of Action :
Adanya
pengaruh dari tokoh masyarakat setempat yang juga menolak pemberian vaksin pada
anaknya. Isu–Isu yang tidak diketahui sumbernya yang mengatakan bahwa imunisasi
berasal dari bahan kimia berbahaya dan bahan yang tidak halal, meskipun Komisi
fatwa MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa tentang imunisasi.
6.
Self
Efficacy :
Lebih
memilih pengobatan dan pencegahan dengan menggunakan bahan – bahan alamiah
lebih baik daripada imunisasi, seperti menggunakan jinten hitam, madu, dll. Bila
merasa belum sembuh dengan obat-obat alamiah baru akan mengambil tindakan berobat
ke dokter.
7.
Modifying
Factors :
Dalam
penelitian ini ada beberapa faktor yang dapat dianggap mempengaruhi komponen Health Belief Model antara lain
Pengetahuan ibu terhadap program imunisasi masih sangat kurang dibuktikan
dengan masih kurang pahamnya para ibu terhadap tujuan dan manfaat imunisasi. Peranan
tokoh agama yang tinggal dikawasan pesantren di daerah tersebut memiliki
peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat setempat termasuk dalam
masalah kesehatan.
C.
KESIMPULAN
Menurut
model kepercayaan kesehatan kemungkinan individu akan melakukan tindakan
pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian
kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan tentang
keuntungan dan kerugian. Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan
terhadap resiko yang akan muncul. Hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang
berpikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman bagi dirinya.
Penilaian
kedua yang dibuat adalah antara keuntungan dan kerugian dari perilaku
dalam usaha untuk memutuskan tindakan pencegahan atau tidak yang berkaitan
dengan dunia medis. Penilaian ketiga yaitu petunjuk berperilaku sehat. Hal
ini berupa berbagai informasi dari luar atau nasihat mengenai permasalahan
kesehatan, misalnya dari tokoh agama / tokoh masyarakat yang dijadikan panutan
di daerah setempat atau dari berbagai program penyuluhan dan sumber informasi
lainnya.
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Notoatmodjo, Soekidjo.
2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta.
2.
Hayden, Joanna Aboyoun. (2014). Introduction to Health
Behavior Theory, Second Edition. Burlington: Jones and Bartlett.
4.
Wulandari, Dewi. Dkk.
2017. Pengetahuan dan Persepsi Ibu yang Menolak Pemberian Imunisasi Dasar
Balita. Indonesian Journal On Medical Science – Volume 4 No.1 – Januari 2017.
Ijmsbm.org
5.
Conner, M and Norman, P. (2003). Predictiong Health
Behaviour, Research and Practice with Social Cognition Model. Buckingham:
Open Univeristy Press
6.
Ary, Desmiyanti. Dkk. 2014. Pemanfaatan Imunisasi di
Kelurahan Pampang Kecamatan Panakkukang Kota Makassar (Pendekatan Health Belief Model).
7.
Magaji, Abdallah Salamatu. Dkk. 2016. Health Belief Model As Framework For Exploring The Non-Use Of Immunization Information By Parents Of Under
Five Children.
8.
Hidayat, A.A.A. 2008.PengantarIlmuKeperawatanAnak
1. Jakarta: SalembaMedika.